Hidup menghasilkan cerita, cerita menghasilkan hidup. Mungkin itu yang bisa dipelajari dari rangkaian perjalanan hidup yang demikian panjang. Dari zaman prasejarah sampai sekarang, hidup memang menghasilkan banyak cerita. Dari kisah Mahabarata sampai cerita Amerika Serikat menyerbu Irak. Sebaliknya, cerita-cerita tadi juga yang memproduksi hidup kemudian. Bila ceritanya perang dan kebencian, hidup kemudian juga ditandai oleh perang dan kebencian. Jika ceritanya cerita cinta, bunga cinta juga mekar di mana-mana.

Dalam dialektika seperti ini, mungkin cerita adalah salah satu hal yang layak dicermati. Tidak saja karena cerita menjadi catatan sejarah, tetapi juga karena dari cerita jugalah kehidupan mengalir kemudian. Dibekali cahaya-cahaya pemahaman seperti ini, saya berutang banyak pada pengumpul cerita yang memberi judul ceritanya Chicken Soup for the Soul. Demikian juga, cerita-cerita Sufi yang kerap menggunakan nama Nasrudin sebagai nama samaran. Cerita-cerita Zen juga serupa. Ia dituturkan secara amat sederhana, tapi amat menggoda.


Satu di antara sedikit cerita yang sempat menyentuh hidup di dalam sini, adalah kisah seorang anak yang lama tidak mengunjungi ibunya di panti jompo. Dengan berbekalkan es krim, ia menemui ibunya yang sudah sangat pelupa. Ketika es krim bawaan anak tadi dimakan oleh sang Ibu, ibu ini berucap: “Betapa indahnya hidup ini kalau saya punya anak sebaik Anda!” Yang membuat sang anak ini demikian tersentuh kemudian, beberapa saat setelah memakan es krim tadi, ibu ini meninggal. Ada air mata yang mengalir di sana. Ada penyesalan tentang pengungkapan rasa sayang kepada Ibu yang masih kurang. Ada ketidakrelaan akan perginya Ibu, terutama karena Ibu sudah pelupa ketika sang anak baru bisa belajar menghadiahkan pemberian.


Entah Anda tersentuh atau tidak dengan cerita ini, yang jelas sebagai seorang anak yang sudah lama memutuskan bahwa satu-satunya pilihan dalam hidup seorang anak hanyalah mencintai orang tuanya, saya bersyukur sekali membaca cerita tadi. Terutama karena cerita tadi datang ketika Ibu masih sehat, bisa tersenyum, masih bisa pergi jauh, dan bahkan sudah belajar mencium pipi putranya.


Lebih bersyukur lagi, karena cerita ini juga hadir ketika Ibu mertua masih sehat walafiat. Sehingga, kehidupan masih membukakan pintu lebar-lebar untuk mengalungkan bunga cinta di bahu kehidupan Ibu mertua. Demikian baiknya kehidupan memberikan peluang, sampai-sampai beberapa saat sebelum Ibu mertua meninggal, beliau masih sempat memberikan cincin kenangan.


Seorang wanita dekat punya cerita tentang Ibu angkatnya. Suatu kali ketika sahabat ini masih sangat muda dan demikian ngotot-nya dengan kehidupan, menabrak ke sana kemari, Ibu angkatnya berpesan: “Bila lentur seperti rotan tidak ada yang bisa membuatmu patah, bila kaku seperti kayu kering sebentar lagi patah!” Dulu, sahabat tadi maupun saya hanya mendengar pesan ini masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Ia tidak lebih dari kata-kata orang tua yang cerewet pada anak-anaknya.


Sekian tahun setelah Ibu angkat ini meninggal, dan kami berdua sudah demikian lelahnya ditimpa badai kehidupan, dan itu pun hanya bertemu kemajuan yang senantiasa diikuti kemunduran, kesuksesan diikuti kegagalan, kenaikan diikuti penurunan, tiba-tiba saja cerita ini bermakna amat dalam. Ia menusuk ke jantung yang paling dalam. Ini hanya cerita tentang sebatang rotan yang harganya murah, tetapi membawa pesan yang teramat mahal: lentur dan kemudian menjadi kuat tidak terpatahkan.


Di suatu kesempatan, ketika diri ini masih disebut anak ingusan, pernah Ayah (almarhum) menggendong saya sambil menanam pohon kelapa. Ketika ditanya kenapa mesti sambil menggendong anak, tanpa menoleh Ayah bergumam agar buah kelapa banyak serta saling menggendong. Rupanya, sekian tahun setelah Ayah berstatus almarhum, kejernihan pernah berbisik begini: setiap kemajuan tidak ada yang bisa dicapai seorang diri. Semuanya dilaksanakan sambil berpelukan dan berpegangan tangan (dalam bahasa Ayah: saling menggendong).


Mengakhiri cerita tentang cerita, ada cerita Zen yang bertutur tentang guru dan murid yang bertarung mendaki gunung. Di kaki gunung, murid demikian optimistis bisa memenangkan pertarungan. Maklum, badannya kekar, tenaganya banyak. Adapun gurunya yang sudah tua, di samping kurus juga berpenampilan tidak meyakinkan.


Dilihat dari kecepatan gerakan ke puncak gunung, sang murid memang bergerak lebih cepat. Ia meninggalkan gurunya jauh di belakang yang merangkak pelan-pelan. Namun, begitu matahari menjelang tenggelam di barat, sinarnya mulai redup, tiba-tiba guru dan murid ini sampai di ketinggian yang sama. Merasa lelah dan kehabisan tenaga, serta tidak mungkin bergerak turun maupun naik, sang murid bertanya: “Guru, apa beda saya yang lelah dan kehabisan tenaga ini dengan guru yang masih segar bugar?” Dengan tersenyum gurunya menjawab, “Inilah bedanya anak muda dengan orang tua. Anak muda datang ke sini untuk menundukkan gunung. Tentu saja, gunungnya lebih kuat dan lebih perkasa. Ia tidak tertundukkan. Adapun orang tua seperti saya tidak ke sini untuk menundukkan gunung, melainkan memeluk gunung. Gununglah yang mengangkat dan membawa saya ke atas.”




Opini - Gede Prama